Benar-benar berita yng menyesakkan dada !
dikutip dari url kompas
http://www.kompas.com/metro/news/0506/09/090859.htm
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Supriono si penggendong mayat anaknya di KRL akhirnya ditemukan. Ia mengubur anaknya di Menteng Pulo.
Supriono alias Supri tertangkap basah tengah menggendong putrinya yang sudah jadi mayat, Nur Khaerunisa yang berusia 3 tahun, di Stasiun Tebet pada Minggu (5/6). Mayat itu dibungkus sarung, sementara mukanya ditutupi dengan kaus.
Kala itu, Supri berniat mengubur si kecil ke perkampungan pemulung di Bogor, dengan menumpang kereta rel listrik (KRL) karena tak punya duit untuk menyewa mobil jenazah. Pekerjaan Supri sebagai pemulung barang bekas dari kampung ke kampung tak memungkinkan untuk menyisakan duit.
Supri berikut mayat putrinya dan putra sulungnya, Muriski Saleh (6), dipaksa ke kantor Polsektro Tebet dan selanjutnya harus kembali ke RSCM untuk memastikan bahwa Khaerunisa bukan korban kejahatan. Supri menjelaskan bahwa anaknya itu meninggal di atas gerobak 07.00 karena muntaber. Supri hanya sekali mengobatkan Khaerunisa ke Puskesmas Setia Budi.
Karena itu ia ngotot menolak anaknya diautopsi. Akhirnya RSCM menyodorkan surat pernyataan yang harus ditandatangani Supri bahwa ia benar-benar menolak anaknya diautopsi.
Dengan bekal surat itu ia berniat menguburkan anaknya. Tapi belum tahu kemana. Hatinya ragu, karena waktu itu jarum jam menunjuk pukul 16.00. Terlalu sore untuk ke Bogor. Dan sejak itu pula, Warta Kota kehilangan jejak Supri.
Tiga hari tim Warta Kota menelusuri pangkalan pemulung dari Cikini hingga Manggarai. Perkampungan pemulung di Bogor plus beberapa stasiun juga dijelajah, tapi Supri tak ditemukan. Padahal, banyak pembaca Warta Kota berniat memberikan bantuan kemanusiaan buat Supri.
Berkat bantuan warga Manggarai, Jakarta Selatan, Supri akhirnya bisa ditemukan. Ia menumpang di rumah rumah petak di pinggiran Ciliwung milik Ibu Sri di Manggarai Utara IV, Tebet. Di sanalah, enam tahun lalu, Supri pernah mengontrak sebulan. Info bahwa Supri berada di sana disampaikan oleh salah seorang pelanggan Warta Kota, Ny Anna Purnomo.
Setahun lalu, Supri cabut dari Manggarai setelah berpisah dengan istrinya, Sariyem. Ia menggelandang sebagai pemulung bersama si kecil Nur Khaerunisa dan Muriski, dengan modal gerobak.
"Saya mangkal di depan Gereja (Isa Almasih) Cikini. Di sana ada halte. Kalau lagi hujan, gerobak saya bawa ke halte, biar anak-anak tidak kehujanan," kata Supri.
Keputusan Supri untuk pergi ke Manggarai muncul tiba-tiba. Sewaktu keluar dari kamar mayat RSCM sekitar pukul 16.10, Supri masih ingin melanjutkan perjalanan ke Bogor untuk mengubur anaknya, dengan menumpang KRL.
Supri berjalan dengan menggendong mayat anaknya, ditemani Muriski, ke Jalan Salemba tepatnya ke lampu merah di seberang St Carolus. Lama ia termenung karena sudah terlalu sore untuk ke Bogor. "Tiba-tiba terlintas dalam pikiran bahwa saya pernah tinggal di Manggarai. Saya putuskan ke Manggarai, minta tolong warga di sana untuk mengubur anak saya," katanya.
Ia lantas menyetop bajaj dan bayar Rp 5.000 untuk ke Manggarai. Supri, Muriski, dan mayat si kecil tiba di rumah Ibu Sri di Manggarai pukul 18.15. Rumah mungil itu hanya berjarak dua meter dari bibir Ciliwung. Dia lalu mengetuk pintu rumah yang terbuat dari kayu tersebut.
"Saat itu saya sedang mandi, tiba-tiba anak saya memanggil saya, katanya ada tamu. Ternyata Supri. Saat itu dia menggendong anaknya dengan kain sarung. Kepala anaknya ditutup kaus warna putih, sementara kakinya terjuntai. Dia bilang ke saya katanya ’bu tolong saya’. Karena saya kira dia butuh uang akhirnya saya bergegas mengambil uang," ujar Sri yang mengaku masih mengingat wajah Supri meski sudah setahun pindah dari rumahnya.
Ketika Sri hendak mengambil uang, tiba-tiba Supri mengatakan bahwa anak yang digendongnya telah meninggal. Sri kaget. Setelah berpikir sejenak, Sri memberitahu warga. Dengan cepat, warga berdatangan untuk mengurusi mayat bocah tersebut.
Bendera kuning tanda berkabung dipasang di sudut-sudut jalan. Sementara lapak penjualan motor di tepi Jalan Manggarai Utara VI disekat dengan kain untuk meletakkan jenazah Khaerunisa. Sebab, sudah terlalu malam untuk mengubur jenazah.
Warga RT 08/RW 01 berkumpul. Mereka berbagi tugas, sebagian meminta surat ke RW dan kelurahan untuk keperluan penguburan. Tapi tetek bengek administrasi baru kelar Senin (7/6) pagi.
"Sebagian mengurus jenazah seperti memandikan dan kasih kain kafan. Sedangkan biaya perizinan hingga penguburan jenazah didapat dari sumbangan sukarela dari warga sekitar yang bersimpati," ujar Jono, warga yang juga bekerja sebagai petugas memandikan mayat di kawasan tersebut.
Menurut Supriatna yang ikut mengurusi jenazah Khaerunisa, biaya yang dibutuhkan untuk penguburan jenazah Khaerunisa kurang lebih Rp 600.000. Biaya ke Dinas Pemakaman Rp 350.000 dan biaya lainnya semisal membeli kain kafan dan lain-lain sekitar Rp 250.000.
Setelah diinapkan semalam, jenazah Khaerunisa dimakamkan di taman pemakaman umum (TPU) Menteng Pulo Blok A5 di Jalan Casablanca, Pal Batu, Tebet, Senin (6/6). "Khaerunisa akhirnya bisa dikubut sekitar pukul 11.00," ujar Supriatna.
Dalam pemakaman itu, kakan Khaerunisa, Nuriski Saleh juga ikut serta. Semula Nuriski belum menyadari bahwa adiknya telah meninggal. Ketika dia melihat adiknya dimasukkan ke liang lahat, Nuriski bertanya kepada ayahnya, mengapa adiknya dikubur. "Nuriski baru tahu bahwa adiknya sudah meninggal setelah upacara pemakaman selesai. Saya baru bisa menjelaskan saat pemakaman itu," ujar Supri. (mur/pro)
------------------------------------------------------------------------------
http://www.kompas.com/metro/news/0506/09/110834.htm
------------------------------------------------------------------------------
DERITA Supriono mengarungi hidup di Jakarta hingga harus menggendong mayat anaknya ke sana ke mari mengundang simpati. Seorang ibu berkebangsaan Indonesia yang tingal di Melbourne, Australia, kemarin pagi menelepon Redaksi Warta Kota. Ia berniat mengirimkan sumbangan melalui jasa bank.
Karena kesulitan teknis, ia akhirnya berniat mengirim duit lewat rekannya yang tinggal di BSD, Serpong, Tangerang. "Paling lambat Kamis (9/6), moga-moga rekan saya sudah bisa mengirimkan bantuan ke Warta Kota," katanya.
Ibu yang menolak menyebutkan identitas itu mengetahui berita Supriono lewat internet. Awalnya ia menelepon Harian Kompas, lantas disarankan menelepon Warta Kota.
Berita tentang tragedi kemanusiaan ini pertama kali dimuat Warta Kota pada edisi Senin 6 Juni 2005 dengan tajuk "Gendong Mayat di KRL". Sejak itu pula, redaksi menerima telepon warga yang bersimpati maupun yang ingin memberikan sumbangan. Bahkan hingga kemarin, telepon belum berhenti mengalir.
Supriono dan anak sulungnya, Muriski Saleh (kakak almarhumah Nur Khaerunisa) kemarin bertandang ke Warta Kota, didampingi warga RT 08/01 Manggarai, Tebet, Jakarta Selatan. Supriono menerima bantuan dari Dana Kemanusiaan Kompas Rp 2 juta, dari Warta Kota Rp 500.000, dan bantuan hasil saweran karyawan. Bantuan disampaikan oleh Pemimpin Umum Harian Warta Kota H Dedy Pristiwanto.
Beberapa dermawan juga berkesempatan bertelepon langsung dengan Supriono perihal bantuan lanjutan. Misalnya pengusaha yang menawarkan pekerjaan tetap buat Supri sehingga bisa melepaskan diri dari kegiatan memulung. Ny Diah dari perusahaan swasta menawarkan tanggungan pendidikan buat anak Supriono, Muriski. Supri pun beberapa menit menerima tawaran Ny Diah lewat telepon untuk menentukan hal-hal teknis bagi sekolah Muriski yang sudah berusia 6 tahun.
Keinginan sekolah yang sudah dipendam Mursiki sebentar lagi akan terwujud. Meski umurnya baru enam tahun, tetapi Mursiki sudah kelihatan pandai menggambar seperti gambar telur, menulis angka 1 dan 2. "Saya ingin punya seragam merah putih," katanya polos ketika ditanya Warta Kota.
Muriski juga ingin seperti anak-anak lain duduk di bangku kelas belajar bersama anak-anak lain. Selama ini, Muriski hanya bisa mengikuti ayahnya mendorong gerobak mencari botol-botol bekas air mineral. Dia tak pernah merasakan bagaimana cerianya bermain bersama sesamanya. Penderitaan Muriski sudah dijalaninya bertahun-tahun bersama almarhum adiknya. Siang hari dia ikut membantu ayahnya mencari barang bekas sedangkan malam harinya tidur di gerobak. (tig/tat)
----------------------------------------------------------------------------------------------
No comments:
Post a Comment